Kabanjahe, Inimedan.com.
Nilai jual beberapa produksi pertanian dari petani di sejumlah pasar tradisional di Kabanjahe, Berastagi dan Tigapanah tidak merata. Beberapa produksi pertanian mengalami peningkatan dan bertahan. Namun beberapa produksi lainnya mengalami penurunan harga.
Produksi pertanian yang mengalami kenaikan harga seperti tomat, wortel dan jipang. Tomat mengalami kenaikan yang selama ini seputar Rp1500/kg, kini rata-rata Rp5000 sampai Rp6000/kg. Wortel yang selama ini berkisar Rp2000 sampai Rp2500/kg, kini mengalami kenaikan menjadi Rp4000 sampai Rp5000/kg.
Demikian dikatakan sejumlah petani, Nikson Barus asal desa Pertumbuken, Mahlon Surbakti, asal desa Simpangempat, Hermon Ginting, warga asal desa Berastagi dan Gogo Barus asal Kabanjahe didampingi Firdaus Perangin-angin asal desa Bintang Meriah yang dikonfirmasi secara terpisah, Rabu (17/5) di Kabanjahe dan Berastagi.
Menurut para petani, ada komoditas produksi pertanian yang nilai jual mengalami penurunan, seperti cabe merah dan cabe hijau dan kubis. Nilai jual cabe merah hanya berkisar Rp13.000 sampai Rp17.500/kg. Cabe hijau berkisar Rp5000/kg. Sedangkan komoditas yang bertahan nilai jualnya, kentang berkisar Rp8000 sampai Rp9000/kg. Jeruk Rp9000/kg dan kubis berkisar Rp800/kg dan jipang hijau Rp1200/buah.
Nilai jual petani di pasar-pasar tradisional ini, umumnya tidak merata dan mengalami perbedaan harga yang signifikan berkisar Rp1000 sampai Rp2000/kg. Seperti tomat, nilai jual dari petani di pasar Roga, Berastagi dan Tigapanah serta pajak Singa, Kabanjahe berbeda dan diharapkan pemerintah dapat menyeragamkan harga beli dari petani, ujar warga ini mengharap.
Disamping itu, beberapa komoditi pertanian yang dapat dipantau di pasar, mengalami nilai jual menggairahkan. Biji kopi kering berkisar Rp26.000 sampai Rp28.000/kg. Sedangkan biji jagung kering berkisar Rp2800 sampai Rp3000/kg. Namun saat ini pertanian jagung musim berbunga, ujar Camat Tigabinanga, Membela Tarigan, kemaren.
Namun begitu, ujar Willem Perangin-angin, mantan Kadispora Karo itu mengatakan bahwa, kenaikan harga komoditi pertanian seharusnya menggairahkan dan mensejahterakan para petani. Namun kenyataannya para petani tetap mengeluh. Ini harus dikaji. Kenapa hal demikian bisa terjadi.
Kenapa begitu, kemungkinan besar bukan karena tingginya nilai beli pupuk dan pestisida serta pengeluaran yang cukup besar untuk bertani, tapi faktor lain perlu dikaji. Faktor ini mengindikasikan bahwa kita selama ini umumnya buruh tani, dan bukan petani.
Penyebab inilah perlu dikaji, kenapa petani mengeluh kalau adanya kenaikan beberapa komoditi pertanian naik, namun petani mengeluh. Pihak ahli perdagangan dan ahli pertanian perlu diundang dan menyampaikan paparannya kalau memang Pemkab ingin memperbaiki dan mensejahterakan petani itu. Dengan kajian ilmiah itu, barangkali ditemukan solusi apa yang terbaik dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani itu, ujar Willem. [im-01]