inimedan.com-Taput. | Gerakan atau seruan yang menuntut ditutupnya TPL yang berlokasi di Porsea,Kabupaten Toba, masih terus berkumandang. Bahkan suara-suara yang menginginkan penutupan pabrik bubur kertas itu terkesan semakin kencang.
Pabrik bubur kertas yang dulunya bernama PT Indo Rayon Utama itu, sudah terhitung cukup lama menimbulkan persoalan di beberapa titik medan operasionalnya. Prokontra di kalangan warga,khususnya di wilayah Toba juga tampaknya dikhawatirkan berpotensi memicu perpecahan,seperti dikatakan beberapa warga di Balige belum lama ini. ” Lagi pula keberadaan TPL di Toba kurang kami rasakan dampak positifnya,” ujar marga Panjaitan itu bernada kesal.
Beberapa waktu lalu Togu Simorangkir seorang aktivis lingkungan melakukan aksi long march jalan kaki dari Balige ke Jakarta untuk bertemu Presiden Jokowi di istana negara, menyuarakan apirasinya agar TPL ditutup. Namun sejak pertemuannya dengan Jokowi, tak jelas diketahui apa hasilnya hingga sekarang.
EPHORUS HKBP
Aksi menuntut TPL tutup terus bergulir. Berita terkini makin menarik perhatian, ketika ephorus HKBP Pdt Victor Tinambunan ikut menyuarakan tuntutan menutup TPL. Ephorus disebut mengapresiasi permasalahan terkait kerusakan hutan di Tapanuli khususnya Toba.
Respon ephorus HKBP juga tidak main-main. Selain menggagas doa bersama bertajuk Peduli Bona Pasogit di Tarutung beberapa waktu lalu, ephorus juga menegaskan komitmennya agar TPL ditutup,dengan membuat statemen resmi atas nama HKBP yang beranggotakan 6,5 juta jiwa itu. Statemen tersebut sebagaimana juga dimuat melalui akun media sosialnya, terurai sbb:
Bapak/Ibu Pemilik dan Pimpinan PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang terhormat.
Perkenankan saya menyampaikan tujuh hal sebagai bentuk keprihatinan dan tanggung jawab moral sebagai bagian dari masyarakat di Tano Batak dan Pimpinan Gereja HKBP yang beranggotakan sekitar 6,5 juta jiwa.
1. Saya secara pribadi dan mayoritas masyarakat di Tano Batak, tidak mengenal secara langsung siapa sesungguhnya pemilik maupun pimpinan utama PT TPL. Ini merupakan suatu ironi yang mencolok, sebuah perusahaan berskala besar yang telah beroperasi selama puluhan tahun di atas tanah leluhur orang Batak tetapi relasi sosial dan komunikasi dasarnya dengan masyarakat sekitar tetap asing dan tidak terbangun. Dalam konteks etika bisnis dan tanggung jawab sosial perusahaan, serta norma adat yang kami hidupi, absennya relasi ini merupakan sebuah bentuk pengabaian etika hidup bersama di masyarakat.
2. Fakta yang paling menyakitkan adalah bahwa keberadaan PT TPL telah memicu berbagai bentuk krisis sosial dan ekologis: mulai dari rusaknya alam dan keseimbangan ekosistem, rentetan bencana ekologis (banjir bandang, tanah longsor, pencemaran air, tanah, dan udara, perubahan iklim), jatuhnya korban jiwa dan luka, hilangnya sebagian lahan pertanian produktif, rusaknya relasi sosial antarwarga, hingga akumulasi kemarahan yang tidak mendapat saluran demokratis karena ketakutan. Ini bukan sekadar dampak insidental, tetapi sebuah jejak panjang dari konflik yang tidak kunjung diselesaikan secara bermartabat.
3. Berdasarkan pemberitaan media dan berbagai laporan publik, kami mengetahui bahwa PT TPL telah memperoleh keuntungan finansial yang sangat besar, bernilai triliunan rupiah dari pemanfaatan sumber daya alam di wilayah Tano Batak. Ironisnya, akumulasi kapital tersebut tidak tampak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi dan pendapatan masyarakat lokal secara umum. Hanya sebagian kecil dari masyarakat yang mendapat keuntungan. Ketimpangan ini menjadi cermin ketidakadilan distribusi manfaat ekonomi.
4. Melihat ironi kehidupan yang terjadi dalam kurun 30 tahun terakhir ini, dengan segala hormat dan tanggung jawab moral, saya menyerukan kepada Bapak/Ibu Pemilik dan Pimpinan PT TPL: tutup operasional perusahaan TPL sesegera mungkin. Penutupan ini bukanlah sekadar desakan emosional, melainkan langkah preventif untuk menghindari krisis yang lebih parah di masa depan, bagi masyarakat di Tano Batak, bagi Sumatera Utara, dan bahkan bagi keberlanjutan ekologis di tingkat global bahkan generasi yang belum lahir.
5. Saya juga meminta agar seluruh karyawan dan karyawati yang terdampak penutupan perusahaan ini, diberikan hak-hak normatif secara utuh, termasuk kompensasi atau pesangon yang layak dan proporsional, bahkan bila memungkinkan dalam bentuk dana modal usaha. Langkah ini bukan hanya mencerminkan tanggung jawab hukum, tetapi juga merupakan wujud dari etika korporasi yang bermartabat.
6. Apa yang saya sampaikan ini sama dengan kerinduan sejak lama banyak pihak seperti Pimpinan-pimpian gereja di Sumatera Utara, Persekutuan Gereja Indonesia, tokoh masyarkat Batak yang tinggal di Tano Batak dan di luar Tano Batak, LSM, Perguruan Tinggi dan masyarakat Tano Batak.
7. Dari ketulusan hati saya berdoa agar Tuhan Yang Mahakuasa senantiasa memberkati Bapak/Ibu pemilik perusahaan, memberi yang terbaik ke depan serta membuka jalan bagi hadirnya model bisnis baru yang lebih berkelanjutan, terlebih menghadirkan keadilan sosial, kesejahteraan masyarakat, dan kelestarian alam.
Dari akun medsos ephorus juga terpetik info terbaru, bahwa tokoh-tokoh Batak seperti Luhut Binsar Panjaitan dan Maruarar Sirait memberi respon positif untuk program pelestarian alam terutama lingkungan seputaran Danau Toba.* le#