Gatot Jalani Dua Kali Sidang Sehari

Inimedan.com

Gatot Pujo Nugroho, mantan Gubernur Sumatera Utara, Senin (21/11) kemarin menjalani dua kali sidang, dalam kasus Bansos dan kasus uang suap, yang digelar di ruang sidang sementara aula lantai II gedung Pengadilan Tipikor Medan

Dalam sidang pertama, terdakwa Gatot mengajukan pembelaan atas kasus dugaan korupsi dana hibah dan bantuan sosial (Bansos) Pemprov Sumut Tahun Anggaran (TA) 2012-2013. Selanjutnya, di tempat yang sama, Gatot kembali duduk di kursi pesakitan untuk agenda mendengarkan keterangan saksi pada kasus dugaan suap “uang ketok” Anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 dan 2014-2019.

Terdakwa Gatot yang mengajukan pledoi pribadi secara lisan dan pledoi tulisan yang dibacakan penasihat hukumnya menyebutkan, untuk dana hibah dan bansos Pemprov Sumut, dirinya tidak pernah menitipkan ataupun merekomendasikan nama-nama LSM penerima dana hibah dan bansos Pemprov Sumut.

“Saya tidak punya peran banyak dalam proses evaluasi penerima dana hibah bansos. Maka yang seharusnya bertanggungjawab dalam perkara ini, adalah Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) serta penerima dana yang tidak memiliki laporan pertanggungjawaban,” ujar pria yang juga mantan Ketua DPW Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sumut ini di hadapan majelis hakim yang dipimpin Janiko Girsang didampingi dua hakim anggota Berlian Napitupulu dan Merri Purba.

Sementara itu, Ibrahim Nainggolan selaku tim penasehat hukum Gatot Pujo Nugroho menyebutkan bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) maupun tuntutan yang dijatuhkan tidak sesuai fakta hukum. Apalagi, menurut penasihat hukum, Gatot sama sekali tidak menerima atau menggunakan dana hibah dan bansos.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Gatot Pujo selama 8 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan. Selain itu, JPU membebankan Gatot untuk membayar uang pengganti (UP) Rp2,88 miliar subsider 4 tahun penjara. JPU menganggap Gatot bersama-sama dengan Eddy Syofian selaku Kepala Badan Kesbangpolinmas Pemprovsu bersalah dalam kasus dugaan korupsi dana hibah dan bantuan sosial Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Utara tahun anggaran 2012-2013 yang merugikan negara senilai Rp4,034 Miliar.

Untuk sidang kedua yang mengagendakan keterangan saksi, lima saksi mantan kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dihadirkan di hadapan lima majelis hakim yang diketuai Didik Setyo Handono. Mantan Kepala Dinas Pendapatan (Dispenda) Sumut, M Rajali mengatakan,  “uang ketok” sebesar Rp3 miliar dari instansinya didapatkan dari lima rekanan pengerjaan proyek di dinas tersebut. Setelah terkumpul, kemudian diberikan ke Bendaraha DPRD Sumut kala itu Ali Nafiah. Dengan rincian, 2013 sebesar Rp 2,5 miliar dan 2014 Rp 500 juta.

“Kami meminta uang tersebut dari rekanan untuk dana ini. Atas perintah Sekda Nurdin Lubis. Rekanan itu yang saya ingat lebih dari lima pekerjaan. Di antaranya,  Pembangunan gedung kantor Jalan SM Raja, Dispenda Sumut,” kata M Rajali di hadapan Majelis Hakim Ketua Didik Setyo Handono.
Permintaan dana “uang ketok” tersebut, lanjut M Rajali, dikemukakan saat rapat pertemuan dengan beberapa Pimpinan DPRD Sumut. “Kami disuruh rapat waktu itu. Di dalam ruang ada sekda (Nurdin Lubis), Randiman, Baharuddin (Kepala Biro Keuangan Pemprov Sumut kalau itu) dan Arsyad lubis (staf ahli gubernur Sumut). Disampaikan sekda ada kewajiban yang harus diselesaikan. Kemudian Baharuddin mengatakan kewajiban lima persen yang katanya untuk DPR,” ucap M Rajali.
Selanjutnya, setelah permintaan “uang ketok” sebesar Rp 3 miliar terkumpul dari rekanan dengan kewajiban lima persen, M Rajali menyebut, “uang ketok” kemudian diserahkan ke Bendahara DPRD

Sumut. “Yang menyerahkan bukan saya, ada staf saya yang menerimanya. Saya serahkan kepada panitia bagian umum, Syahrial Nasution,” ujarnya. Majelis hakim Didik sempat menanyakan apakah Nurdin Lubis ada menyebut-nyebut nama Gatot Dala permintaan “uang ketok” itu. Rajali menjawab tidak ada.

Saksi lain, mantan Kepala Dinas Kesehatan Sumut Sri Hartati juga menyetorkan Rp200 juta. Pihaknya mengaku, kala itu sulit dalam memenuhi permintaan Nurdin Lubis. Sebab, sistem tender telah menggunakan e-Katalog. “Saya sempat bilang ke Pak Sekda. Sekarang sistem tender sudah e-Katalog .Jadi susah mengumpulkan uang sebanyak itu. Setelah minta-minta dengan rekanan, hanya Rp200 juta yang terkumpul,” katanya.

Sementara, mantan Kepala Dinas Perkebunan Herawati mengaku dipanggil Kepala Biro Keuangan Ahmad Fuad Lubis guna meminta dana sekitar Rp600 juta. Namun, angka permintaan tersebut tak sepenuhnya diberikan. “Saya berikan tidak segitu, saya rembuk, saya bisa Rp 200 juta. Dijawab dengan nada tidak enak. yang terima itu Fuad Lubis, katanya dana partisipasi untuk Pemprov Sumut. Uang sudah saya serahkan ke Fuad Lubis kemudian diserahkan ke Randiman, (Sekretaris DPRD Sumut),” jelas Ernawati.

Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Kadistamben) Edy Syahputra mengatakan, ada dana permintaan yang diajukan Pemprov Sumut sebesar yang harus dikumpulkan. Permintaannya berupa lima persen dari Pagu anggaran.

“Memang ada permintaan waktu itu oleh Pemprov Sumut. Saya akan berikan seberapa yang bisa saya usahakan, kata Kepala Biro Keuangan, dana itu kepentingan untuk DPRD Sumut. Saya hanya berikan Rp100 juta sebagai partisipasi. Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Sumut malah menyetor lebih banyak yakni Rp1,8 miliar.

Untuk sidang pertama, majelis hakim yang diketuai Janiko Girsang menunda sidang hingga Kamis (24/11) untuk mendengarkan tanggapan JPU atas pledoi terdakwa. Sedangkan untuk sidang kedua ditunda hingga Senin (28/11) dengan agenda mendengarkan saksi lainnya.[mp/im-01]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *