INIMEDAN – Pada tanggal 21 Juni 1970, pukul 07.00 WIB, Bung Karno menghembuskan napas terakhirnya. Adalah dr Mahar Mardjono, satu-satunya orang yang menyaksikan “kepergian” putra sang fajar seperti yang dituliskan oleh Roso Daras di bukunya Total Bung Karno.
Keterangan yang ia kemukakan, saat itu pukul 04.00 pagi, Bung Karno dalam keadaan koma.
“Saya dan dokter Sukaman terus berada di sampingnya. Menjelang pukul 07.00 pagi, Sukaman sebentar meninggalkan ruangan rawat. Saya sendiri berada di ruang rawat bersama Bung Karno. Bung Karno berbaring setengah duduk, tiba-tiba beliau membuka mata sedikit, memegang tangan saya, dan sesaat kemudian Bung Karno menghembuskan napas yang terakhir.”
Tak lama berselang, keluarlah komunike medis:
1. Pada hari Sabtu tangal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan kesehatan Ir. Soekarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
2. Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Ir Soekarno dalam keadaan tidak sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir Soekarno meninggal dunia.
3. Tim dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis Ir Soekarno hingga saat meninggalnya.
Komunike itu ditandatangai Ketua Prof Dr Mahar Mardjono, dan Wakil Ketua Meyjan Dr (TNI-AD) Rubiono Kertopati.
Sementara itu, Syamsu Hadi, suami dari Ratna Juami, anak angkat Bung Karno dan Inggit Ganarsih yang melihat jenazah Bung Karno melukiskan dengan baik. “Wajah almarhum begitu tenang. Seperti orang tidur saja tampaknya. Mata tertutup baik. Alis tebal tidak berubah, sama seperti dulu.”
Rakyat Indonesia dari penjuru Tanah Air, berjubel. Tidak saja di sekitar Wisma Yaso tempat jenazah Bung Karno disemayamkan, tetapi juga di Blitar, Jawa Timur, tempat jazad Bung Karno dikebumikan.
Seperti pengalaman pribadi mantan ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko. Ia merasa bagai tersambar petir demi mendengar kematian tokoh bangsa yang delapan tahun ia layani. Bambang yang ketika Bung Karno wafat sudah menjabat sebagai Asisten Kepala Personel Urusan Militer Mabes TNI-AL itu, bergegas menuju Wisma Yaso.
Wisma Yaso yang sejak siang sudah dijejali kerumunan rakyat yang hendak melayat, tidak juga surut hingga malam hari. Bambang pun masuk dalam antrean pelayat, yang berjalan menuju ruang tengah Wisma Yaso setapak demi setapak.
Suasana ketika itu dilukiskan sebagai sangat mengharukan. Tidak terdengar percakapan, kecuali isak tangis, dan bisik-bisik pelayat. Di sudut ruang, masih tampak kerabat dan pelayat yang tak kuasa menahan jeritan hati yang mendesak di rongga dada, hingga tampak tersedu-sedu.
Tiba di dekat peti jenazah, Bambang melantunkan doa, “Ya Tuhan, Engkau telah berkenan memanggil kembali putra Mu, Bung Karno. Terimalah kiranya arwah beliau di sisi Mu. Sudilah Engkau mengampuni segala dosa-dosanya dan berkenanlah Engkau menerima segala tekad dan perbuatannya yang baik. Engkau Mahatahu ya Tuhan, dan Engkaulah Mahakuasa, aku mohon kabulkanlah doaku ini. Amin”
Segera setelah usai berdoa, Bambang menuju kamar lain, tempat keluarga Bung Karno berkumpul. Di sana tampak Hartini, Dewi, Guntur, Mega, Rachma, Sukma, Guruh, Bayu, dan Taufan. Mereka pun saling berangkulan.
Sejurus kemudian, Sekmil Presiden, Tjokropranolo, mendekati Bambang dan berkata, “Mas Bambang, kami mohon sedapatnya bantulah kami dalam menjaga dan melayani keluarga Bung Karno yang saat ini amat sedih dan emosional.”
Bambang segera menjawab, “Baik, tapi tolong sampaikan hal ini kepada KSAL.”
Begitulah, Bambang sejak itu tak pernah jauh dari keluarga Bung Karno. Baginya, inilah bakti terakhir yang dapat ia persembahkan bagi Bung Karno.
Bambang juga berada di mobil bersama keluarga Bung Karno dalam perjalanan dari Wisma Yaso ke Halim, dari Halim terbang ke Malang, dan dari Malang jalan darat dua jam ke Blitar. Di situ, ia melihat rakyat berjejal di pinggir jalan, menangis menjerit-jerit, atau diam terpaku dengan air mata bercucuran.
Bambang yang duduk dekat Rachma tak kuasa menahan haru melihat begitu besar kecintaan rakyat kepada Bung Karno. Ia pun berkata pelan kepada Rachma, “Lihatlah, Rachma, rakyat masih mencintai Bung Karno. Mereka juga merasa kehilangan. Jasa Bapak bagi nusa dan bangsa ini tidak akan terlupakan selamanya.” Rachma mengangguk.
Pemandangan yang sama tampak di Blitar hingga ke areal pemakaman. Ratusan ribu rakyat sudah menunggu. Bahkan militer harus ekstra ketat menjaga lautan manusia yang ingin merangsek mendekat, melihat, menyentuh peti jenazah Bung Karno.
Sementara itu, upacara pemakaman dengan cepat dilaksanakan. Panglima TNI Jenderal M. Panggabean menjadi inspektur upacara mewakili Pemerintah Republik Indonesia.
Prosesi pemakaman berlanjut. Peti jenazah pelan-pelan diturunkan ke liang kubur. Tak lama kemudian, liang kubur mulai ditutup timbunan tanah, saat itulah meledak tangis putra-putri Bung Karno, yang kemudian disusul ledakan tangis pelayat yang lain di sekitar makam.
Bambang Widjanarko merasa hancur hatinya demi melihat penderitaan anak-anak Bung Karno ditinggal pergi untuk selama-lamanya. Tanpa terasa, air mata Bambang mengalir lagi di pipi.
Akhirnya, selesailah upacara pemakaman Bung Karno yang berlangsung sederhana tetapi khidmat. Acara pun ditutup tanpa menunggu selesainya peletakan karangan bunga. Meski rombongan resmi sudah meninggalkan makam, tetapi ribuan manusia tak beranjak. Bahkan aliran peziarah dari berbagai penjuru negeri, terus mengalir hingga malam.
Mereka maju berkelompok-kelompok, meletakkan karangan bunga atau menaburkan bunga lepas di tangannya, kemudian berjongkok, atau duduk memanjatkan doa, menangis di dekat pusara Bung Karno. [VNC]