Anak-anak korban kekerasan di Sumatera Utara masih belum terlindungi, disebabkan banyaknya hukum dan perundang-undangan yang masih belum terimplementasikan dengan baik dalam mencegah, melindungi maupun merehabilitasi anak-anak korban kekerasan.
Anak-anak korban kekerasan, seksual, dan anak-anak yang berkonflik dengan hukum, merupakan kelompok yang paling menderita akibat lemahnya perlindungan hukum ini.
“Saat ini Sumatera Utara masih cenderung mengabaikan masalah anak-anak yang menjadi korban kekerasan”, demikian dikatakan Ketua Badan Pengurus Yayasan Pusaka Indonesia (YPI) Fatwa Fadillah, SH dalam catatan akhir tahun YPI 2015 kemarin.
Menurut Fatwa, sepanjang 2015 kasus kekerasan yang ditemukan YPI sangat mengkhawatirkan. Data yang dilansir dari berbagai media dan kasus-kasus yang ditangani langsung oleh YPI menunjukkan 204 anak menjadi korban tindak kekerasan. Kasus pencabulan menempati urutan pertama dengan 90 korban, disusul dengan kasus penganiayaan 48 korban dan kasus pemerkosaan 29 korban, selebihnya kasus pencurian, pembunuhan, penculikan dan penelantaran.
Usia anak yang menjadi korban tersebut bergerak dari 1 tahun sampai 18 tahun. Namun yang paling dominan menjadi korban adalah mereka-mereka yang berusia 15-16 tahun 64 korban, 17-18 tahun sebanyak 32 korban.
Dari sisi karakteristik pelaku yaitu orang baru dikenal, tetangga, guru, orang tua, dan teman juga ikut dominan dalam melakukan kekerasan terhadap anak.
Kota Medan menempati urutan korban terbesar mencapai 64 korban di antaranya merupakan korban pencabulan dan pemerkosaan, disusul Deli Serdang 44 korban, Langkat dan Pematang Siantar 12 korban.
Fatwa mengakui faktor teknologi dunia maya sepertinya ikut memberi andil terjadinya berbagai kasus pencabulan dan kekerasan lainnya, di mana pelaku utamanya dari kalangan remaja.
Peran domestik atau keluarga juga sangat besar memberikan pengaruh terhadap sikap tumbuh kembang anak, dengan perhatian dalam bentuk kasih sayang serta menjadikan anak sebagai teman agar anak mampu mencurahkan permasalahan yang di hadapi anak.
“Sejauh ini, berdasarkan penanganan kasus yang dilakukan YPI, acapkali korban kekerasan tidak mendapatkan intervensi terutama dalam pemulihan psikologisnya, bahkan sebaliknya justru stigma negatif dari masyarakat yang mereka terima”, ungkap Fatwa.
Untuk itu ujar Fatwa, ”Hal yang sangat penting adalah sikap negara atau pemerintah untuk komit terhadap perlindungan anak, sesuai yang dimandatkan oleh Konvensi Hak Anak dan UU Perlindungan Anak, karena anak merupakan generasi penerus bangsa di masa mendatang.”
Ketua Badan Pembina YPI, Dr. H. Edy Ikhsan, SH. MA, menambahkan dalam hal penegakan hukum anak yang berkonflik dengan hukum khususnya anak sebagai pelaku dinilai masih belum adil. “Restoratif justice dan diversi masih belum terimplementasikan dengan baik, masih sebatas wacana. Jadi tidak ada kata ampun bagi anak yang mencuri sandal, atau mencuri sebungkus kue, masih disamakan dengan anak yang terbukti membunuh misalnya.”
Karenanya institusi penegak hukum diharapkan harus meningkatkan kapasitas aparatnya dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum, terutama memaksimalkan pelayanan dan penerapan restoratif justice dan diversi. “Sedapatnya penanganannya jangan sampai masuk proses hukum,” pungkas Edy.(@di)